BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Migrasi dalam kehidupan hewan dapat didefinisikan sebagai pergerakan musiman yang dilakukan secara terus menerus dari satu tempat ke tempat lain dan kembali ke tempat semula, biasanya dilakukan dalam dua musim yang meliputi datang dan kembali ke daerah perkembangbiakan (Alikondra, 1990). Beberapa jenis hewan melakukan migrasi, tidak hanya burung saja tetapi beberapa jenis hewan lain pun melakukan migrasi, contohnya jenis kepiting kecil di Amerika dan Kupu-Kupu Raja. Seringkali kita terheran-heran betapa menakjubkannya proses migrasi hewan tersebut karena menempuh jarak yang beratus-ratus kilometer hanya untuk mempertahankan hidupnya.
Banyak faktor yang dapat memungkinkan terjadinya migrasi, tetapi migrasi jarak jauh biasanya menunggu kondisi terbang yang memungkinkan. Burung memerlukan angin yang sesuai agar dapat membantu pergerakan selama perjalanan. Banyak burung-burung migran berjuang dalam keadaan yang paling tidak aman untuk mencapai tujuannya (Peterson, 1986). Selama penerbangan jauh yang berbahaya dari tempat asal ke tempat tujuan, burung menggunakan berbagai macam kemampuan untuk menentukan arahnya.
Burung migran tidak memulai perjalanan migrasinya dari tempat yang sama. Ketika saat bermigrasi tiba, masing-masing burung berada di tempat yang berbeda. Pada sebagian besar spesies, pertama-tama mereka berkumpul di tempat tertentu untuk kemudian bermigrasi bersama. Beberapa jenis burung migran yaitu burung kolibri yang merupakan burung migran terkecil, burung merpati, burung bangau, angsa, burung Bulbul, dan beberapa burung pemangsa seperti Sikep Madu Asia (Pernis ptylorhynchus orientalis), Elang Alap Cina (Accipiter soloensis) dan Elang Alap Nipon (Accipiter gularis). Dalam makalah ini akan dibahas tentang proses migrasi dan sistem navigasi atau kompas pada burung pemangsa yaitu elang secara keseluruhan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Tipe-Tipe Migrasi
Migrasi adalah perpindahan hewan secara massal dari satu tempat ke tempat lain (Susanto, 2000:38). Migrasi dalam kehidupan hewan dapat didefinisikan sebagai pergerakan musiman yang dilakukan secara terus menerus dari satu tempat ke tempat lain dan kembali ke tempat semula, biasanya dilakukan dalam dua musim yang meliputi datang dan kembali ke daerah perkembangbiakan (Alikondra, 1990). Migrasi ada yang bersifat dispersal, artinya sejumlah hewan pindah dari habitat yang ditempati oleh induk dan keluarganya ke tempat lain sebagai akibat dari kepadatan populasi. Migrasi dapat pula terjadi meskipun kepadatan populasinya tidak padat, tetapi disebabkan oleh faktor lain, terutama faktor kondisi fisik lingkungannya, misalnya perubahan suhu dan persediaan sumber daya makanan. Migrasi yang disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan seringkali melibatkan hampir seluruh anggota populasi, misalnya burung yang bermigrasi dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan pada musim dingin. Secara keseluruhan migrasi bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup hewan migran.
Menurut Susanto (2008:190) migrasi dibedakan menjadi beberapa tipe, antara lain:
- 1. Migrasi Harian
Migrasi harian adalah migrasi yang dilakukan dalam waktu satu hari atau kurang untuk pergi dan kembali. Contohnya, plankton bergerak ke permukaan air pada siang hari dan turun ke tempat yang lebih dalam pada malam hari. Pada waktu ada di daerah permukaan plankton dapat menyerap sinar matahari sebanyak-banyaknya untuk fotosintesis, dan di tempat yang dalam dapat menghisap unsur-unsur mineral. Keluang dan kelelawar meninggalkan sarang atau liangnya untuk mencari makan pada malam hari, dan kembali pada pagi hari. Ketam pantai bergerak sesuai dengan gerakan air laut pada waktu pasang-naik dan pasang-surut.
- 2. Migrasi musiman
Migrasi musiman disebut juga migrasi annual. Dalam hal ini, waktu yang diperlukan hewan untuk pergi dan kembali, atau untuk menetap (sementara atau seterusnya) kurang lebih satu musim, sehingga dalam tahun yang sama hewan berada di dua tempat yang berbeda. Migrasi musiman dapat dijumpai pada banyak hewan yang kondisi lingkungan habitatnya berubah secara musiman. Hewan-hewan pemakan rumput yang hidup di daerah dingin dan daerah beriklim sedang melakukan migrasi naik ke lereng gunung atau turun ke lembah secara musiman. Perpindahan ke tempat yang lebih tinggi atau lebih rendah disebut migrasi altitudinal. Misalnya rusa Amerika bergerak naik gunung pada musim panas dan turun gunung pada musim dingin. Perpindahan itu dilakukan untuk menghindari cuaca dingin di tempat tinggi pada musim dingin dan cuaca panas di dataran rendah pada musim panas. Migrasi itu tampaknya juga berhubungan dengan persediaan makanan.
Migrasi musiman juga berlangsung secara latitudinal (migrasi latitudinal), artinya hewan pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan melintasi garis lintang bumi. Migrasi latitudinal sering kali dapat menempuh jarak yang sangat jauh, misalnya dari daerah kutub utara ke belahan bumi bagian selatan dengan melawati garis khatulistiwa. Burung-burung yang hidup secara terrestrial di belahan bumi utara sering bermigrasi ke arah utara ke daerah yang persediaan makanan berlimpah pada musim panas, dan pergi ke daerah savana di selatan pada musim dingin. Di antara burung-burung itu ada yang mengalami musim kawin di derah paleartik selama musim dingin. Di samping itu ada burung-burung yang dapat mencapai Afrika. Burung-burung itu menghabiskan waktunya selama musim dingin di daerah hutan pohon berduri dan savana. Kedatangan burung-burung itu di tempat tersebut bertepatan dengan masaknya buah-buahan yang hidup di daerah tersebut (Begon,1996).
- 3. Migrasi Lokal
Migrasi lokal tidak melibatkan perubahan ketinggian tempat dan tidak sampai melintasi garis lintang. Jarak yang ditempuh amat terbatas. Migrasi ini banyak dijumpai di daerah padang rumput dearah tropis yang musim penghujan dan kemaraunya berpengaruh terhadap persediaan air. Migrasi yang berkaitan dengan persediaan air itu dapat dijumpai di Taman Nasional Baluran, yang terletak di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Di Taman Nasional itu, persediaan air minum pada musim kemarau untuk hewan liar hanya ada di daerah pantai, yaitu di rawa atau sumber air. Pada sore dan malam hari hewan-hewan (kijang, babi hutan, kerbau, dan banteng) pergi ke rawa dan sumber air lain untuk minum. Hewan-hewan itu berada di daerah pantai, yang tertutup oleh hutan pantai, selama malam hari. Pada pagi hari, menjelang matahari terbenam hewan-hewan pergi ke arah kaki Gunung Baluran sambil merumput di savana.
Selain itu ada pula yang disebut vagran, yaitu spesies yang bermigrasi di luar jadwal migrasi atau di luar jangkauan jalur migrasi. Ini sering disebut sebagai jenis migran tersasar. Misalnya, spesies tersebut mempunyai waktu migrasi Oktober-Desember, tetapi spesies vagran itu berkunjung di wilayah migrasinya pada bulan Mei atau Agustus. Atau spesies tersebut memiliki jalur ke wilayah Malaysia, tetapi beberapa jenis melakukan perjalanan soliter ke Sumatera atau Jawa.
Burung pemangsa Di dunia terdapat 292-312 spesies burung pemangsa (Howard & Moore, 1991 serta Thiollay, 1994). Di Indonesia sendiri terinterpretasi 69 spesies burung pemangsa (Rudyanto, 2001), 26 bertipe migran interkontinental dan dua di antaranya tipe vagran.
2.1.2 Faktor Migrasi Burung
Berikut adalah beberapa faktor yang mendorong migrasi hewan, terutama migrasi burung. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi 2 yaitu:
- Faktor Eksternal
Pada ketinggian dimana burung terbang, kecepatan angin bisa mencapai 20 mil/jam. Angin pertama bisa saja mendorong burung untuk terbang maju atau malah sebaliknya menghempaskannya ke belakang, padahal angin kedua (susulan) dapat dengan mudah menggandakan kecepatan tersebut. Angin kencang dapat mencegah burung kecil untuk bermigrasi. Persimpangan angin yang kuat dapat menyeret burung sangat jauh dan dapat menjadi bencana bagi burung darat yang terbang di atas samudra, angin seperti inilah yang sering menjadi alasan terhadap beberapa burung yang kadang ditemukan jauh diluar jangkauan normalnya.
Pada musim semi, burung-burung daerah utara lebih memilih suhu yang hangat dan angin selatan yang dicirikan oleh adanya sistem tekanan tinggi di belahan selatan, di musim gugur, mereka lebih menyukai suhu rendah dan angin utara yang terjadi mengikuti jalur dingin di depan.
- Hujan, perubahan cuaca, dll.
- Faktor Internal
- Aktivitas kelenjar endokrin
Diperkirakan burung mulai bermigrasi pada waktu yang sama setiap tahun. Keberangkatan burung untuk bermigrasi tampaknya ditentukan oleh pengaruh interaksi kompleks dari berbagai rangsangan luar (termasuk cuaca) dan penanggalan biologis yang memungkinkan burung mengetahui perubahan musim (Peterson, 1986). Di antara penanggalan biologis tersebut terdapat kelenjar endokrin, alat yang dapat merangsang burung jantan untuk bernyanyi dan burung betina untuk bertelur. Burung mengalami perubahan biologis berhubungan dengan reproduksi di saat sebelum dan sesudah musim bersarang, sehingga kelenjar endokrin menjadi sangat aktif. Dalam periode inilah kebanyakan burung bermigrasi (Peterson, 1986). Dengan demikian kegiatan periodik kelenjar endokrin tampaknya merupakan salah satu penyebab burung memulai perjalanan panjangnya.
- Pertambahan Populasi, dengan dampak :
a. Kompetisi dalam mendapatkan makanan dan air
Penyebab migrasi yang lain erat kaitannya dengan penambahan populasi baru. Ledakan populasi akibat menetasnya anak burung menyebabkan tuntutan makanan dalam jumlah besar secara tiba-tiba, tetapi hal ini bersifat sementara. Keadaan ini menyebabkan burung terbang ke daerah musim semi untuk memenuhi kebutuhan makanan berlimpah yang juga bersifat sementara (Peterson, 1986). Penanggalan biologis yang diatur oleh rangsangan dari luar dapat menyiapkan burung untuk bermigrasi, tetapi saat yang paling tepat untuk memulai migrasi ditentukan oleh cuaca.
b. Kompetisi dalam mendapatkan ruang tinggal
Pertambahan populasi juga menyebabkan dampak yang bersifat permanen, seperti perebutan ruang tinggal atau daerah kekuasaan. Hal ini juga akan semakin potensial terjadi jika pada daerah itu terdapat banyak spesies yang saling berkompetisi.
2.2 Jalur Migrasi Burung
Seperti diketahui bahwa burung terbang beratus-ratus bahkan beribu-ribu kilometer untuk terus mempertahankan hidupnya. Setiap akhir September sampai Desember, berlangsung musim migrasi burung dari belahan Bumi utara meliputi wilayah Utara daratan Asia, Eropa, dan Amerika. Saat itu berbagai macam rantai makanan terputus oleh hibernasi berbagai spesies mangsa dan iklim ekstrem, sehingga ribuan individu bermigrasi melintasi benua menuju wilayah yang bisa mencukupi kebutuhan makan dan aktivitas hariannya. Indonesia adalah salah satu negara yang dilintasi migrasi burung pemangsa. Indonesia merupakan lokasi yang cocok sebagai jalur migrasi dan lokasi istirahat (resting sites) saat burung bermigrasi.
Di antara yang bermigrasi adalah jenis burung pemangsa. Mereka kerap dikategorikan sebagai top predator dalam piramida makanan, sehingga kadang disebut sebagai raptor, burung elang, atau alap-alap. Sebenarnya elang dan alap-alap itu berbeda, tetapi masyarakat sering mempersepsikan sama. Karena migrasi berlangsung dalam jumlah besar, lintasan migrasinya harus memiliki wilayah-wilayah ekosistem yang baik untuk memenuhi kebutuhan mangsa burung-burung migran ini.
Migrasi burung pemangsa atau raptor migran Asia di Indonesia memiliki dua jalur besar yaitu dari semenanjung Malaya dan dari Kepulauan Filipina. Untuk spesies tertentu diperkirakan juga melalui jalur kecil dari kepulauan Nicobar, India. Dari semenanjung Malaya, kelompok-kelompok individu melewati Kepulauan Riau (Bengkalis dan Rupat) kemudian bergerak menuju ke arah Tenggara melintasi Sungai Serka (Riau), Muara Banyuasin, Simpanggagas dan Sungai Sembilang (Sumatera Selatan), Lampung Timur, dan diperkirakan melewati Bakauheni untuk menuju ke Pulau Dua, Teluk Banten.
Dari teluk Banten, kelompok tersebut bergerak menuju ke selatan melintasi Gunung Halimun, Kota Bogor, Puncak, dan pecah menjadi dua jalur di wilayah utara dan selatan Bandung dan diperkirakan melintasi wilayah Bantarujeg dan Ceremai. Dari Ceremai, kelompok besar tersebut melintasi sekitar Gunung Slamet, dataran tinggi Dieng, Sumbing sampai melintas wilayah Merapi dan Merbabu ke arah Gunung Arjuna, Argopuro, kemungkinan melintasi Semeru sampai pecah dua kelompok di mana satu kelompok besar ke arah timur yaitu Pulau Bali melintasi wilayah Meru Betiri dan kelompok kecil ke arah Sadengan dan Plengkung, Alas Purwo, Banyuwangi.
Di Bali, kelompok-kelompok burung pemangsa migran ini bersatu kembali di Teluk Terima, Bali Barat dan melakukan migrasi kembali ke arah wilayah Danau Batur kemungkinan melintasi Gunung Agung menuju ke arah Gunung Seraya. Dari Seraya, beberapa kelompok raptor bermigrasi ke Nusa Tenggara. Catatan di wilayah Nusa Tenggara Barat belum ada tetapi dari beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur, Accipiter soloensis tercatat melakukan migrasi di wilayah Pulau Komodo, Pulau Sumba, Maumere, dan Golo Lusang, Flores.
Untuk kelompok kecil seperti jenis Accipiter badius dan Aviceda leuphotes kemungkinan besar melewati kepulauan Nicobar dan Andaman menuju Kepulauan Nias dan Mentawai dan ke arah Sumatera Selatan dan Lampung bahkan sampai Jawa. Tahun 2001 tercatat keberadaan Aviceda leuphotes di Banjar Sari dan Desa Caringin Bogor, Jawa Barat. Di Nias dan Mentawai juga ada catatan mengenai Accipiter soloensis, tetapi kemungkinan besar merupakan individu yang keluar dari jalur migrasi alami di Semenanjung Malaya.
Jalur Filipina Di jalur dari Filipina kemungkinan besar pecah menjadi dua kelompok yaitu kelompok-kelompok burung pemangsa migran yang menuju Kalimantan Utara melewati Pulau Palawan dan kelompok lainnya yang menuju Sangihe-Talaud melintasi Pulau Luzon. Kelompok-kelompok yang berasal dari Pulau Palawan tersebut masuk melalui wilayah Sabah dan kemungkinan pecah menjadi dua bagian di mana beberapa kelompok seperti Circus cyaneus, Aviceda jerdoni (dianggap ras migran walau ada subspesies penetap di Kalimantan) dan beberapa kelompok kecil Milvus migrans menuju ke Sarawak, Gunung Palung, Danau Sentarum, dan daerah Sungai Kahayan, pedalaman Barito. Beberapa kelompok yang kemungkinan lebih besar seperti Falco peregrinus calidus masuk ke wilayah Berau, ke arah pesisir Kutai, Delta Mahakam, Tanjung Selor, Danau Jempang, dan mencapai wilayah Balikpapan dan Danau Riam Kanan.
Kelompok besar yang melintasi Pulau Luzon melakukan migrasi melintasi kepulauan Sangihe-Talaud, Sulawesi. Di Sangihe-Talaud ini kemungkinan kelompok besar tersebut pecah, di mana satu kelompok menuju ke arah Pulau Poa (Togean) melalui Dumoga dan kelompok lain melakukan pergerakan ke arah Pulau Ternate, Pulau Bacan, Pulau Bisa, kemudian melintasi Obi, Pulau Seram dan berakhir di wilayah Kepulauan Tanimbar. Ada kemungkinan dari Pulau Seram, satu kelompok Accipiter soloensis dan Circus spinolotus menuju Papua melakukan aktivitas hariannya di Teluk Bintuni. Tetapi, untuk Circus spinolotus juga ada spesies penetap di Papua.
Kelompok yang bergerak dari Pulau Poa diperkirakan pecah di mana kelompok besar melakukan pergerakan ke wilayah Rawa Aopa (Sulawesi Tenggara). Kemudian, kelompok tersebut menyeberangi Teluk Bone ke arah Pare-pare dan melintas jauh ke Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Dari Kalimantan Selatan, kelompok bergerak ke Danau Riam Kanan dan melakukan aktivitas hariannya di pesisir Balikpapan dan Danau Jempang. Satu kelompok kecil dari Poa pecah ke Kepulauan Taliabu sampai di Pulau Buru. Demikian rumitnya jalur yang harus ditempuh oleh burung-burung pemangsa terutama Elang untuk bermigrasi. Oleh karena itu, burung Elang haruslah memiliki sistem navigasi untuk dapat mengetahui arah secara tepat. Untuk mengetahui kerja sistem navigasi tersebut akan dibahas pada subbab berikutnya.
2.3 Sistem Navigasi pada Burung Elang
Mengapa dan bagaimana awalnya burung bermigrasi, serta apa yang membuat mereka memutuskan untuk bermigrasi telah lama menjadi pusat perhatian. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa migrasi disebabkan perubahan musim sementara yang lain percaya bahwa burung bermigrasi untuk mencari makan. Ilmuwan menemukan reaksi berbeda dari dari mata semua hewan terbang, berdasarkan lokasi penyimpanan medan magnet. Hal ini merupakan salah satu keajaiban alam. Bahwa burung bisa memahami bahan kimia hanya dengan mata. Padahal secara teknis, mata burung tidak memiliki alat deteksi.
Teori rumit ini melibatkan proses pencahayaan yang diterima mata burung. Inilah yang menjadi perbincangan ilmuwan selama lebih dari 30 tahun. Saat foto cahaya memasuki mata burung maka berhubungan dengan cryptochrome.
Selanjutnya, ini akan menciptakan tekanan energi dalam belitan kuantum, suatu keadaan di mana elektron secara spasial terpisah, namun tetap berdampak satu sama lain.Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana burung-burung ini-tanpa perlindungan, perlengkapan teknis, atau pengamanan, kecuali tubuh mereka sendiri-dapat melakukan penerbangan yang sangat jauh. Migrasi membutuhkan keahlian khusus seperti penentuan arah, cadangan makanan, dan kemampuan untuk terbang dalam jangka waktu yang lama. Hewan yang tidak memiliki ciri-ciri di atas tidak mungkin dapat berubah menjadi hewan migran, atau hewan yang melakukan migrasi.
Para ilmuwan masih belum menemukan jawaban bagaimana burung dapat menentukan waktu migrasi. Mereka percaya bahwa makhluk hidup memiliki “jam tubuh” yang membantu mereka mengetahui waktu, bila mereka berada dalam lingkungan tertutup, dan membedakan perubahan musim. Bagaimanapun, pada kenyataannya bahwa burung memiliki “jam tubuh yang membantu mereka mengetahui saat untuk melakukan migrasi” adalah jawaban yang tidak ilmiah.
Teknik navigasi didasarkan pada banyak indera. Cara ini merupakan hasil kombinasi beberapa kemampuan termasuk kemampuan mendeteksi daerah medan magnet, menggunakan pengenalan visual dan juga isyarat pada olfactorius. Reaksi kimia di pigmen cahaya khusus sensitif terhadap panjang gelombang tinggi dipengaruhi oleh daerah tersebut. Dengan pengalaman mereka mempelajari berbagai petunjuk daerah dan pemetaan ini dilakukan oleh megnetitas pada sistem trigeminal. Beberapa penelitian terbaru berhasil menemukan sebuah hubungan syaraf di antara mata dan “kelompokan N”, bagian otak depan yang aktif selama penetapan arah migrasi, yang diyakini menyebabkan burung dapat melihat medan magnet di bumi.
Beberapa cara lain yang digunakan burung Elang untuk menentukan arah antara lain:
- Sun compass (kompas Matahari)
Beberapa jenis burung Elang mampu menentukan arah dengan baik hanya jika dapat melihat matahari dengan jelas. Bahkan burung migrant malam menggunakan ini sabagai isyarat untuk berangkat pada senja hari.
- Star compass (kompas bintang).
Burung Elang yang terbang malam biasanya harus mengontrol terbangnya sendiri dalam keadaan kurang jelas, langit berbintang tapi akan menjadi tidak terlihat jika sedang berawan atau mendung. Maka mereka meggunakan pedoman hubungan beberapa rasi bintang dan bukan pada 1 bintang saja.
- Odor Map (Peta rangsang bau)
Biasanya dipakai oleh migrant jarak dekat untuk pulang ke sarang.
- Magnetic Map (Peta medan magnet)
Burung migrasi dapat mengandalkan pada instingnya untuk pulang. Gangguan terhadap medan magnet dapat mengganggu kemampuan ini.
- Magnetic Compass (kompas medan magnet).
Beberapa burung Elang tampaknya memiliki “kompas” yang terpasang di organ tubuhnya untuk digunakan saat sedang berawan.
Penelitian berikutnya mengenai sistem navigasi burung Elang menunjukkan bahwa medan magnet bumi berpengaruh terhadap beberapa spesies. Berbagai kajian menunjukkan bahwa tampaknya burung pemangsa memiliki sistem reseptor magnetik yang maju, yang memungkinkan mereka menentukan arah dengan menggunakan medan magnet bumi. Sistem ini membantu burung menentukan arah dengan merasakan perubahan medan magnet bumi selama migrasi. Berbagai eksperimen menunjukkan bahwa burung migran dapat merasakan perbedaan medan magnet bumi sebesar 2%.
DAFTAR RUJUKAN
Allen, A.A. 1961. The Book of Bird Life: A Study of Birds in Their Native Haunts
(Second Edition). New Jersey: D. Van Nostrand Company, Inc.
Awalluddin, N.H. 2008. Fenomena Migrasi Burung Pemangsa. (Online).
http://sbc.web.id/2008/07/fenomena-migrasi-burung-pemangsa/. Diakses tanggal 13 April 2011.
Lindsay, Bethany. 2005. The Compasses of Birds. (Online).
http://www.scq.ubc.ca/the-compasses-of-birds/. Diakses tanggal 13 April 2011.
Sukmantoro, Wishnu. 2007. Migrasi Burung Pemangsa Asia. (Online).
http://dasarburung.wordpress.com/2007/10/10/migrasi-burung-pemangsa/. Diakses tanggal 13 April 2011.
Susanto, Pudyo. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi-Departemen Pendidikan Nasional.
Zachra, Ellyzar. 2011. Sistem Navigasi Burung Menakjubkan. (Online).
http://sbc.web.id/2010/07/sistem-navigasi-burung-menakjubkan/. Diakses tanggal 13 April 2011.